Teman, semua meyakini bahwa
sukses tak pernah mengenal pak Tarno. Sim salabim jadi apa, prok..prok..prok.
Ada sejarah panjang yang kadang tak ter-cover ke hadapan khalayak. Orang hanya
mengetahui bahwa si A, si B sekarang telah sukses disebut sebagai orang sukses.
Hehe..ribet kan?
Para ilmuwan yang menemukan
berbagai benda yang membantu kehidupan kita sehari-hari pun tidak serta merta
mendapatkannya begitu saja. Diam..merenung..cling..jadi deh magicom.
Tidaklah. Ada perjalanan berliku untuk bisa demikian.
Contoh sederhana lainnya, proses
pembuatan nugget. Saya pernah memproduksi nugget rumahan beberapa waktu yang
lalu. Berbekal semangat untuk menyediakan makanan sehat di rumah, sayapun
penasaran untuk membuatnya sendiri. Anak saya banyak..penggemar nugget.
Ya..hitung-hitung penghematan juga kaan..
Jadilah perburuan resep itu
dimulai. Googling mestinya. Wee... ternyata banyak sekali resep pembuatannya. Saya
mencobanya satu persatu. Di resep pertama, kalau dibisniskan mungkin nggak jadi
untung secara materi. Minim tepung tapi boros daging..hihi. Bentuknyapun
mungil-mungil. Hm... jadi semakin penasaran kan, bagaimana sih, bisa membuat seperti
yang dijual kemasan itu? Minimal mirip lah..hehe.
Hunting resep lagi. Coba lagi.
Baik bahan campuran maupun bumbunya. Begitu berkali-kali. Pernah jadi nugget
yang keras..hehe. Usut punya usut, ada bahan yang overload.
Finally, setelah trial and error
beberapa kali, ketemu juga rasa yang pas dan nendang. Indikasinya? Anak-anak
dan teman-temannya yang saya minta menjadi tester bolak-balik makan tak
henti-henti..hehe.. Enak, katanya.
Walhasil, nuggetpun dikemas,
dijual dalam event-event tertentu. Dalam pengemasannyapun tidak langsung
menemukan konsep yang fiks. Ada proses trial and error juga. Berbagai jenis
plastik saya coba. Termasuk membeli alat perekat denfan berdaya listrik. Pernah
juga memesan plastik kemasan pada seorang teman. Ribet memang. Tapi terasa
nikmat.
Ada contoh lain lagi terkait
sukses. Lebih sederhana daripada proses ber-nugget ria. Pernah membuat telur
ceplok? Saat masih kecil dulu, nyeplok telur buat saya bagaikan mengikuti buggy
jumping. Hihi..lebay ya. Tapi..begitulah. Sama-sama memacu adrenalin.
Minimnya ilmu dan keberanian
membuat saya selalu mengambil posisi "ancang-ancang" setiap nyeplok
telur. Takut lah, terkena cipratan minyak panasnya. Padahal, semakin jauh,
justru semakin tinggi pantulan minyaknya ya..hehe.
Teman..
Semua itu memanglah bagian dari
satu aktifitas yang bernama BELAJAR. Yaitu upaya menambah pengetahuan dan skill
dari yang sudah dimiliki sebelumnya. Tidak gampang menyerah; menjauh dari putus
asa; selalu tumbuhkan rasa penasaran dan tidak puas sekaligus haus akan ilmu
serta memupuk cita untuk membuat sejarah bagi kehidupan sendiri merupakan
serentetan syarat yang harus terus menempel dalam jiwa seorang pembelajar.
Bidang apapun itu.
Kita meyakini,belajar merupakan
suatu bentuk proses. Sedangkan proses itu bagian dari sukses. Kadang sukses itu
samar kita rasakan. Sebagaimana proses pembuatan nugget tadi. Yang dirasakan
dan dialami terkesan proses terus-menerus yang tak pernah habis. Barulah,
setelah merenung sejenak..
Lho..kok kinerja saya bisa lebih
cepat dari saat awal saya membuat ya ? Lho..kok rasanya bisa nendang ya?
Teman..jika sudah demikian,
berarti kita telah mengantongi sukses kecil itu. Kumpulkanlah. Jangan biarkan
ia berserakan. Karena sukses besar merupakan kumpulan dari sukses-sukses kecil.
Setelah itu, setelah menjadi
bagian dari sukses, what next ?
Hm..banyak pilihan, teman. Dari
yang mencukupkan, memotivasi mereka yang belum sesukses kita, bahkan mem-bully;
baik secara halus maupun terang-terangan. Really? Iya lah.
Namun, sebagai orang sukses
berjiwa besar, tentunya kita akan memilih yang kedua. Karena mencukupkan
berarti menghentikan ikhtiar untuk lebih sukses lagi. Mem-bully berarti
merendahkan orang lain dan menganggap diri kita jauh lebih baik.
Dari sudut pandang politik yang
keras dan dinamis, sindir-menyindir dan bullying itu seperti
"makanan" sehari-hari para pelakunya. Meski sebenarnya ada cara
berpolitik yang lebih elegan.
Dari kacamata pendidikan,
wah..bullying itu pelanggaran banget. Mengkritik dan "maido" upaya
seseorang yang sedang belajar hanya akan menjatuhkan mentalnya.
Ketika suatu saat, anak saya yang
masih TK menggambar dan menunjukkannya pada saya sembari bertanya, "Bagus
kan, mi?" Kalau saya menilainya dari sudut pandang saya sebagai orang
dewasa, pastilah akan saya bilang JELEK. Rumah kok terbang, gentingnya lancip,
pintu dan jendelanya tidak proporsional. Dan bisa dipastikan, setelah itu anak
saya akan kapok menggambar rumah. Kalaupun mau, ia akan selalu konsultasi
tentang banyak hal. Lebih pada kekhawatiran takut salah dan dikritik
habis-habisan.
Ini menunjukkan minimnya
apresiasi kita terhadap perjuangan seseorang. Anak sekecil itu, mampu
membayangkan bentuk rumah secara komplit, memilih warna, berusaha mewarnai
dengan susah payah melatih motorik halusnya, lha kok masih disalahkan. It's
unfair, bukan?
Ada lagi adiknya si mbak yang
masih 3,5th. Makan sendiri. Walhasil, nasinya berceceran lah di lantai. Tapi
biarlah. Kita perlu mengapresiasi upayanya untuk mandiri dan belajar skill
makan. Ya, hargai tugas perkembangannya. Itu akan membuat mereka semakin
terpacu untuk menciptakan sukses-sukses baru.
Jadi, belajar memang bisa tentang
apa saja dan di mana saja. Yang punya sosmed, bisa dimanfaatkan untuk belajar
jualan online, mengasah kemampuan IT, menulis, berpendapat, berkomunikasi, dll.
Namanya belajar, trial and error adalah sunnatullah. Yang penting, tidak kapok.
Sekalipun ada kritik pedas yang menghampiri.
Status facebook kok isinya cuma
curhatan, misalnya. Atau, status kok malah jualan. Atau posting foto aktifitas.
Atau menuliskan pengalaman berkesan. Atau berisi kabar dari dunia politik.
Lah..suka-suka si empunya akun lah. Mau diisi
apa. Ibarat rumah, adalah hak si pemilik untuk mendisain, mengecat dan mengisi
perabot sesuai seleranya. Mau tembok dicat antimindstream semacam loreng atau
tutul-tutul..(masih ingat kan, belasan atau bahkan puluhan tahun lalu ada trend
menggambari tembok dengan alat khusus dan rerata mengambil motif batik?). Lalu
pagar rumahnya dicat hijau pupus yang dikombinasi dengan orange ngejreng,
terserah yang punya rumah, bukan. Kalau buat dia bagus, apa hak kita untuk
melarang? Meski memang mengganggu pemandangan..dan tiba-tiba menimbulkan sakit
mata.
Kalau berani, silakan beri
masukan. Dan inipun butuh ilmu tersendiri. Adab mengkritik. Tak sekedar
menegur. Kalau tidak, cukupkanlah dengan mencari jalan alternatif..atau tetap
melewati rumah tersebut dengan banyak beristighfar.
Teman..
Tawadlu' setelah sukses itu
memang tidak mudah. Karena kaitannya dengan hati yang memang mudah
terbolak-balik. Ini adalah ujian kenikmatan. Atas ilmu dan skill yang dimiliki.
Waspada adalah niscaya. Karena setan tak akan pernah relakan kita
tinggalkannya.
رَبَّنَا لَا
تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ
إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
condongkan hati kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada
kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau
Maha Pemberi. (QS. Ali Imran : 8)
ditulis oleh : (NAF)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !